“MENCINTAI DAN MERAWAT BUMI”
Pengantar
“ …
Engkau memperkenankan kami hidup di bumi Indonesia, di tengah pulau-pulau dan
lautan biru, di antara gunung-gunung dan dataran subur, di negeri yang kaya
raya akan sumber-sumber alam … untuk mengolah sawah dan ladang, mengelola alam
tanpa merusak lingkungan, memanfaatkan lautan yang kaya, membangun kota dan
desa, serta menyiapkan hari depan yang lebih adil dan makmur, aman dan sentosa …”.
Kutipan Doa Syukur Agung ini mengajak umat
beriman untuk bersyukur atas bumi dan segala isinya yang disediakan Allah bagi
kemakmuran dan kesejahteraan hidup manusia dan keberlangsungan keutuhan
ciptaan.
Bumi
dan segala isinya merupakan hasil karya Allah dan sekaligus tempat Allah
bekerja. Allah yang menyelenggarakan kehidupan di alam semesta ini dan tidak
ada yang luput dari perhatian-Nya. Bumi menyediakan segala yang dibutuhkan oleh
manusia untuk menjamin keberlangsungan hidupnya. Bahkan harus diakui, kehidupan
manusia sepenuhnya bergantung pada bumi. Bumi memelihara kehidupan manusia.
Oleh karena itu, Allah berkehendak supaya manusia ikut ambil bagian dalam
mencintai dan merawat bumi dengan segala isinya. Mencintai dan merawat bumi
menjadi ungkapan dan perwujudan syukur manusia atas kehidupan yang telah
disediakan Allah bagi hidup manusia (bdk. Kej 2, 15-17). Jadi, siapakah manusia
berani menghancurkannya ?
Bumi ;
Sabda yang menjelma
Kitab
Kejadian 1 menggambarkan peristiwa di dalam Sabda semua ciptaan terjadi. Bumi
dengan segala isinya, baik yang ada di dalam bumi maupun di atas bumi semuanya
merupakan penjelmaan Sabda. Manusia dipanggil untuk berjumpa sepenuhnya dengan
semua ciptaan menurut model dari Sabda Yesus Kristus yang masuk ke dalam dunia
dengan menjadi “sama seperti kita, hanya tidak berbuat dosa” (Ibr, 4.15).
Kehadiran Sabda yang menjadi manusia mengarahkan manusia untuk cerdas dan
kreatif mewujudkan nilai-nilai kemanusiaannya dalam menjaga dan memelihara
keutuhan ciptaan.
Bumi
sebagai Sabda yang menjelma akan memberikan kemakmuran dan keberlangsungan
hidup manusia, sebagaimana Sabda yang menjelma menjadi manusia dalam diri Yesus
Kristus. Tata kelola dan tata laksana manusia yang cerdas, arif dan bijaksana
dalam mengolah dan mengelola bumi menjadi perwujudan sembah bakti kepada Allah
Sang Pencipta Kehidupan. Bumi menjadi tempat dan sarana perjumpaan manusia
untuk beribadah dengan benar kepada ‘Sang Sabda’ sendiri yaitu Allah.
“Allah
menghendaki, supaya bumi beserta segala isinya digunakan oleh semua orang dan
sekalian bangsa, sehingga harta–benda yang tercipta dengan cara yang wajar
harus mencapai semua orang, berpedoman pada keadilan, diiringi dengan cinta
kasih”
(Gaudium et Spes art. 69). Bumi sebagai ‘rahim kehidupan’ akan
memberikan hidup kepada manusia kalau manusia menghidupi nilai keadilan dan
cinta kasih kepada bumi. Semua manusia, tanpa kecuali, berhak menikmati dan
mendapatkan sumber penghidupan dari rahim bumi, terlehih bahan pangan yang
menjadi kebutuhan dasar hidup manusia. Dengan demikian manusia menanggapi Kabar
Baik dalam penghayatan hidup bersama yang sedang mengumuli persoalan lingkungan
dan pangan.
Manusia;
Penjaga bukan perusak bumi
Allah
menciptakan manusia menurut ‘gambar dan citra’ Allah sendiri (bdk. Kej, 1,27).
Gambar dan citra Allah ini di wujudkan oleh manusia dalam kebersamaannya dengan
Allah untuk ikut menata, menjaga, memelihara dan mengembangkan bumi dengan
segala isinya untuk kemakmuran dan kesejahteraan bersama dan keberlangsungan
keutuhan ciptaan. Sebagai citra Allah, manusia mempunyai martabat sebagai
pribadi yang mampu mengenali dirinya sendiri, menyadari kebersamaan dirinya
dengan orang lain, dan bertanggung jawab atas makhluk ciptaan yang lain. Allah
memberikan kepercayaan kepada manusia untuk memelihara dan mengolah dengan
bijaksana alam semesta ini serta berupaya menciptakan hubungan yang harmonis di
antara semua ciptaan (Nota Pastoral KWI 2013).
Allah
menciptakan manusia untuk hidup dan memelihara hubungan yang selaras dengan
Allah sendiri dan dengan semua ciptaan. Ketika Allah menciptakan bumi dan
segala isinya semua baik dan sempurna. Kebaikan dan kesempurnaan Allah untuk
memberikan bumi dan segala isinya bagi keberlangsungan hidup manusia ditanggapi
oleh hasrat manusia dengan menguasainya. Akar krisis pangan dan ekologis dewasa
ini terletak pada kesalahan manusia sendiri, yang menguasai bumi dengan tidak
merawat, menjaga dan memeliharanya dan bukan pada teknologi buah daya pikir
manusia.
Krisis
pangan dan ekologis yang terjadi saat ini, yang tampak dalam perubahan iklim,
rendahnya produksi bahan pangan, kerusakan sumber-sumber pangan, hilangnya
sumber-sumber hayati, habisnya sumber daya alam, munculnya penyakit dan gizi
buruk, rentannya lingkungan dan meningkatnya jurang antara si kaya dan si
miskin, bermula dari krisis dalam diri manusia. Pemahaman manusia tentang
dirinya berubah banyak. Manusia beralih dari pemahaman diri sebagai ciptaan
berakal budi yang serba kecukupan dan memiliki kebebasan untuk memilih apa yang
baik dan cocok bagi hidup manusia, ke pemahaman diri sebagai ciptaan yang tidak
pernah dapat menjadi puas. Manusia menjadikan teknologi sebagai alat pemuas
hasrat yang tak terkendali.
Manusia
terancam oleh apa yang dihasilkan dengan karya tangannya, intelektualnya dan
kemauannya. Pegembangan teknologi yang tidak diterangi kebenaran sabda
mengakibatkan suatu ancaman bagi lingkungan alami manusia. “… merupakan
kehendak Sang Pencipta bahwa manusia berkomunikasi dengan alam sebagai ‘tuan’
dan ‘penjaga’ yang mulia dan pandai, dan bukan sebagai seorang ‘perusak’ dan
‘penindas’ yang angkuh” (Redemptor Hominis Art.15).
Ide Kreatif ; Membangun gerakan HPS
Kecerdasaan,
kearifan dan kebijaksanaan manusia yang bermartabat, segambar dan secitra Allah
memungkinkan manusia untuk melibatkan, mengembangkan dan mencerdaskan diri dan
orang lain untuk bersama-sama mencintai dan merawat bumi. Visi bersama adalah
sesuatu yang sangat dibutuhkan dalam Gereja dan masyarakat luas sekarang ini ;
kolaborasi yang benar akan memastikan terbangunnya gerakan mencintai dan
merawat bumi. Dengan demikian, Sabda yang sejatinya menjelma dalam perjuangan
dan pergumululan hidup manusia menjadi nyata dalam sikap dan tindakan manusia
yang benar.
Membangun
gerakan “Pertanian Selaras Alam” yang dikembangkan di Keuskupan Larantuka
adalah contoh Sabda yang sedang dijelmakan dalam mencintai dan merawat bumi.
Keluarga-keluarga di paroki diajak untuk menghargai dan menghormati bumi dengan
memanfaatkan dan mengoptimalkan lahan pekarangan menjadi ‘lumbung pangan sehat
keluarga’. Hal yang sama juga dibuat di Desa Netpala, salah satu tempat di
Keuskupan Agung Kupang dengan “Matuntakun”nya yang berarti mendukung,
mendorong, dan menopang untuk saling berbagi kehidupan.
Menyehatkan
bumi dengan pemugaran tanah melalui produk-produk organik yang diasupkan
kedalam bumi juga menjadi wujud nyata mencintai dan merawat bumi. Gerakan ini
sudah menjadi pergumulan di Toraja di Keuskupan Agung Makasar, di Muntilah di
Keuskupan Agung Semarang, di Cepu di Keuskupan Surabaya, di Nyarumkop di
Keuskupan Pontianak, di Lota di Keuskupan Menado dan beberapa keuskupan lainya
melalui pembangunan sentrum-sentrum pertanian organik. Demikian juga gerakan
menghijaukan bumi dengan menanam pohon sudah mulai menjadi gerakan di lingkungan-lingkungan
sekolah dan lahan-lahan kritis sebagai upaya tindakan mencintai dan meawat
bumi.
Penutup
Mencintai
dan merawat bumi sebagai gerakan HPS Gereja Katolik bisa menjadi salah satu
tindakan bersama dalam mewujudkan Nota Pastoral KWI 2013 “Keterlibatan Gereja
Dalam Melestarikan Keutuhan Ciptaan”. Gerakan ini bisa menjadi ‘garam dan
terang’ bagi terciptanya kembali tata kelola pangan yang bermartabat,
bersahabat, dan berkeadilan bagi seluruh ciptaan. Hal ini butuh waktu untuk
mengusahakannya, butuh niat yang besar untuk mewujudkannya, butuh kebersamaan
untuk menjalankannya, dan butuh iman yang kuat untuk tetap setia melakukannya.
Dan disinilah sebenarnya, hakekat panggilan umat beriman untuk mewujudkan visi
dan misi Yesus Kristus di jaman ini.
Jakarta,
26 Juli 2013
Komisi
PSE KWI
Rm. Fa. Teguh Santosa Pr.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar