10 Januari 2015

"Mata Boleh Buta, Tapi Hati Tetap Terbuka", Kesaksian Ferry Jansen Situngkir



Ferry Jansen Situngkir
Tak terbayang sebelumnya olehku akan bekerja dalam pelayanan sosial terhadap mereka yang sering disebut masyarakat sebagai penyandang cacat. Selama 20 tahun pertama dalam hidupku, aku merasa tidak ada suatu keanehan dalam diriku. Memang, sejak duduk di kelas satu sekolah dasar, aku diharuskan memakai kaca mata tebal. Itu bermula ketika aku berusia delapan tahun. Kecelakaan kecil yang melukai mata kananku, di kemudian hari ternyata membawa kegelapan total dalam penglihatanku. Infeksi kecil membutakan mata kananku ketika aku duduk di bangku sekolah menengah pertama (kelas III, 1987). Dan, yang kiri pun, perlahan namun pasti, berkurang ketajamannya. Aku masih ingat, saat lulus Sekolah Menengah Atas (SMAN 28 Jakarta, 1991), aku harus dibantu dengan kacamata minus sembilan.
            Selama menjalani pendidikan dasar dan menengah, aku tidak merasa ada hambatan dalam berprestasi di sekolah. Nilai-nilai pelajaranku, baik-baik saja. Namun, memang aku menyadari bahwa aku lemah dalam pelajaran-pelajaran yang membutuhkan penglihatan yang tajam dan kelincahan gerak. Pada pelajaran olahraga dan seni rupa, aku berada pada garis rata-rata, dan terkadang di bawahnya. Tetapi tidak dengan pelajaran lain. Tahun 1991, aku berhasil menamatkan pendidikan di SMA dengan hasil yang memuaskan. Dan karenanya, aku memutuskan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi negeri. Ada dua yang menjadi targetku saat itu. Pertama Sekolah Tinggi Akuntansi Negara di Jurangmangu, Bintaro, Tanggerang Selatan. Yang kedua melalui jalur UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Kedua-duanya wajib aku perjuangkan, kalau aku ingin tetap melanjutkan pendidikan, karena ada aturan di keluargaku, jika tidak bisa kuliah di perguruan tinggi negeri, maka aku dan saudara-saudaraku tidak tidak akan bisa kuliah, karena kemampuan ekonomi keluargaku  yang minim. Ayahku seorang PNS yang jujur, yang mengandalkan gajinya saja untuk menghidupi kami semua.
            Puji Tuhan, karena dengan seijin-Nya, dan motivasi yang kuat untuk mencapai cita-cita setinggi mungkin, untuk mengubah nasib, aku berhasil lulus STAN Jurangmangu, Bintaro. Seminggu menjalani Orientasi dan Pengenalan Kampus. Seminggu di sana, aku mendapat kabar aku pun di terima di Teknik Industri, Institut Teknologi Bandung (ITB). Menghadapi dua pilihan yang sama baiknya ini, aku memutuskan untuk pergi belajar ke Bandung, karena pada dasarnya aku senang dengan matematika dan ilmu alam.
            Tahun demi tahun aku jalani perkuliahan di kampus Ganesha dengan lancer. Kesulitan dalam penglihatan aku siasati dalam kerja berkelompok. Jika praktikum, aku menghadapi mesin-mesin yang cukup berbahaya, aku mengambil posisi sebagai pencatat data dan pembuat laporan. Sementara teman-temanku dalam satu kelompok ‘pegang’ mesin. Di ruang kuliah, aku tak dapat dengan jelas membaca tulisan dosen  di papan tulis maupun di layar overhead projector. Kesulitan ini aku atasi dengan meminjam catatan teman-teman untuk kusalin. Belajar pun, aku merasa tak mengalami kesulitan, karena dengan kacamata tebalku (minus sembilan, ketika itu) aku masih bisa membaca buku-buku.
            Namun itu semua berakhir ketika ketika Dokter mata di RS Cicendo Bandung memvonis, mata kiriku tak bisa diselamatkan, kecuali dioperasi di Jakarta, karena keterbatasan peralatan di Bandung. Aku ke Jakarta untuk menjalani operasi mata tunggalku yang tersisa (1994). Namun, Tuhan menggariskan aku untuk harus menjadi tunanetra. Syaraf retina di mata kiriku kembali lepas setelah dismbung pada operasi pertama. Dokter menyarankan untuk menjalani dua kali lagi operasi, tapi kutolak dengan pertimbangan biaya yang terlalu besar.
            Setahun aku cuti kuliah sambil menanti mujizat dari Tuhan. Namun, itu tak kunjung datang. Aku marah padaNya.
             Tugas akhir sarjanaku, yang hamper selesia, tertunda. Aku putus asa dan tak punya semangat untuk menyelesaikannya. Aku hanya sedih dan marah. Orangtuaku mencoba untuk mengerti dan menyelami apa yang kurasakan, dan terus memotivasi aku. Mereka meminta aku tetap menyelesaikan kuliahku. Dan dengan motivasi dari merekalah aku berhasil menamatkan dan meraih gelar sarjana  Teknik Industri ITB di tahun 1997.

Bingung dan sedih
Setamat kuliah, aku tidak seperti rekan-rekanku. Mereka umumnya meniti karir setamat berkuliah. Sementara aku hanya diam di rumah, menangisi keadaan dan marah-marah kepada Tuhan. Bukannya tidak ada tawaran bekerja, tetapi aku menolak kesempatan itu. Aku masih ingat, ada tiga perusahaan besar yang menghubungiku untuk wawancara pegawai baru. Semua kuhindari dengan berbohong. Kukatakan aku sudah diterima bekerja di tempat lain. Aku sedih sekali.
            Suasana muram ini kulalui hampir selama dua tahun. Kerjaku hanya mendengarkan radio dan televise dan makan. Tubuhku makin tambun . Aku bingung dengan masa depanku. Aku marah: “Mengapa Tuhan memberiku cobaan seberat ini?”. Ku coba mendengarkan acara-acara rohani di radio dan televise. Semuanya tak memberiku jawaban atas pertanyaan akan seperti apa masa depanku kelak. Situasi ini membuatku sering menangis sendiri di dalam kamar, padahal walkman-ku sedang mendendangkan lagu-lagu yang riang dan indah. Aku galau, “Kapan semuanya menjadi terang benderang ya?”, tanyaku dalam hati.
Kelompok Paduan Suara Leatitia

Tuhan menjawabku
Syukur pada Tuhan, sedih dan frustasiku tidak berlarut-larut. Aku berjumpa Bito Tunanetra Leatitia pada 2009. Seorang kawan kuliah member informasi tentang Biro Tunanetra Leatitia di Gereja Katedral Jakarta. Aku menyambutnya, dan mendaftarkan diri di biro ini pada Maret 2009. Dengan kesadaran penuh, aku bertekad harus menegakkan kepalaku dan berusaha untuk hidup mandiri. Harus menjadi manusia baru. Aku mulai belajar Braille, dan belajar berjalan dengan tongkat putih.
            Aku pun mulai aktif di kelompok-kelompok yang dibina oleh biro milik Lembaga Daya Dharma (LDD) Keuskupan Agung Jakarta ini. Aku aktif bergiat di dalam kelompok Paduan Suara Leatitia, kelompok Teater Buta, kelompok tunanetra pemijat, dan terlibat dalam kunjungan-kunjungan rumah tunanetra. Semua berjalan indah. Tuhan memakai sahabat-sahabatku yang dianggap lemah oleh masyarakat, untuk mengembangkan diriku sebagai “manusia baru”. Aku bukan lagi manusia tak berguna, manusia yang tanpa harapan dan hanya menjadi beban keluarga. Tapi, lebih memandang diriku sebagai manusia yang diberi banyak kelebihan. Kesadaran ini sungguh merupakan kekayaan batin bagiku, dan aku harus membagikannya kepada siapapun yang kujumpai. Itu tekadku.

Diterima Bekerja dan Mulai Melayani
Tak terduga olehku, belum lagi setahun aktif Biro Tunanetra Leatitia LDD KAJ, aku ditawari ikut dalam seksi penerimaan karyawan bari di biro ini. Aku ingat betul, itu terjadi di bulan Oktober 1999. Aku memutuskan untuk mengambil tawaran ini. Kupikir, inilah kesempatanku untuk berkarya dan menjadi berarti dengan memberikan apa yang kupunya kepada sesamaku. Dan akupun lulus ujian seleksi. Ku yakin, Tuhan sendirilah yang memilihku untuk berkarya bagi-Nya. Sejak Januari 2010, aku mulai bekerja di Biro Leatitia, dan menjalani gemblengan sebagai pekerja sosial kecacatan. Aku mengikuti kursus bimbingan konseling, kursus computer  bicara, pelatihan kepribadian Outward Bound Indonesia, pelatihan analisis sosial, dan berbagai ragam kursus. Semua ini membentuk diriku agar siap melakukan semua tanggung jawab yang diberikan kepadaku kelak.
            Tugas awalku adalah mengunjungi tunanetra di Jakarta dan sekitarnya. Ya, mereka tinggal di rumah mereka masing-masing, atau bekerja di panti-panti pijat. Dalam berkunjung, terkadang aku ditemani staf ataupun Pembakti/Sukarelawan. Namun, tidak jarang aku harus pergi sendirian dan ditemani oleh tongkat putihku, naik turun angkotan kota. Tanya kiri kanan pada orang di jalan alamat yang kutuju. Bukan sesuatu yang mudah untuk tunanetra  baru seperti aku. Sering aku merasa takut, baik bertabrak kendaraan, ataupun gagal menemui alamat yang kutuju, atau bahkan takut ditolak oleh keluarga dari Penyandang cacat. Namun, itu tidak terjadi. Terasa sekali olehku, Tuhan menjadi temanku dan Ia menjagaiku dalam setiap langkah tugasku. Selama 13 tahun bertugas, aku belum pernah sekalipun dilanggar kendaraan. Sesekali nyasar, namun dari rekan-rekan aku tahu bagaimana caranya bisa sampai ketujuan dengan tepat dan cepat.
            Setiap perjumpaanku dengan Sahabat tunanetra merupakan peristiwa yang indah dan selalu kutunggu-tunggu; tidak kuhitung sebagai beban pekerjaan. Kami bisa saling bertukar cerita; cerita suka duka dengan asiknya. Saling memberi pengalaman hidup. Saling membangun semangat hidup, dan bersama membuka peluang apa yang bisa dilakukan bersama. Kunjungan dan sapaan yang kulakukan, mencoba membuka pintu untuk menarik mereka yant tunanetra dari kepasifan hidup. Kunjungan dan sapaan menggerakkan mereka keluar rumah, datang ke Leatitia untuk mulai terlibat dalam pelatihan dan kegiatan-kegiatan yang ada. Kebersamaan dalam kelompok sejenis, membuat Sahabat-Sahabatku lebih mudah membuka diri satu sama lain, dan ini memampukan mereka bisa membuang beban yang sebelumnya terasa sangat berat. Dalam kebersamaan, Sahabat-sahabat mampu bertumbuh dan menunjukkan eksistensinya.
            Baik dalam kegiatan yang ada di Biro Leatitia, maupun di lembaga lain ke mana mereka kurujuk, mereka mencoba membangun diri dan mencoba eksis di tengah keluarga dan masyarakat. Sungguh Tuhan menjadikan segala sesuatunya BAIK adanya. Di balik kesedihan dan kelemahan, tersimpan sukacita dan kemuliaanNya.
            Hasil kunjunganku tidak melulu tunanetra atau Penyandang cacat yang bisa diberdayakan. Banyak pula dari antara mereka adalah mereka yang sama sekali tidak berdaya. Tunanetra berusia lanjut  yang sudah tidak kuat mencari nafkah dengan memijatnya, Penyandang cacat ganda (yang hanya mampu rawat), ataupun Penyandang cacat tubuh/lumpuh anggota gerak badannya, dengan keluarga tidak mampu, dan bingung mau ‘diapakan’ anaknya tersebut. Aku mencoba membantu mereka, mencari umat yang peduli. Entah itu untuk mencarikan panti jompo yang sesuai, mengantar ke panti-panti yang menampung mereka yang cacat ganda, membantu kebutuhan pokok, ataupun membantu alat bantu seperi kursi roda dan lain-lain. Semuanya aku upayakan untuk mengetuk hati umat, supaya mereka dengan spontan meniru Tuhan Yesus yang selalu mengulurkan bantuankarena tergerak oleh belas kasih terhadap sesamanya.
            Mangajarkan baca-tulis Braille dan computer bicara adalah tanggung jawab yang dipercayakan biro kepadaku. Mata boleh tidak melihat, namun tunanetra tidaklah boleh buta pengetahuan ataupun buta terhadap perkembangan di sekitarnya. Dengan menguasai baca/tulis Braille, tunanetra bisa bersekolah dan bisa membaca buku-buku pelajarannya. Dengan aksara Braille, tunanetra bisa mencatat pelajaran/pelatihan yang diikutinya. Aksara Braille memampukan mereka mencatat nomor telefon dan alamat serta berkorespondensi dengan sahabat-sahabatnya. Aksara Braille membawa cahaya di tengah kegelapan Sahabat-Sahabatku ini.
            Sebut saja ibu Endang. Ibu ini mengalami kebutaan ketika ia melahirkan anak bungsunya. Saat itu ia berusia empat puluh tahunan. Ia shock  dan marah, serta protes kepada Tuhan, mengapa ia mendapat cobaab yang tak terduga? Ia tidak bisa lagi melakukan apa pun, sebagaimana sebelumnya. Di tengah kekecewaannya, tak jarang ia berpikir untuk mengakhiri hidupnya saja. Namun, niat buruk itu urung terlaksana, karena ia mendengar tangisan anak-anaknya. Keluarga pun bingung dengan kondisi ibu mereka. Larangan kepada si Ibu kerap dilontarkan: jangan kedapur, jangan pegang pisau, jangan main api, jangan keluar rumah nanti tertabrak motor atau mobil, dan berbagai ‘jangan…jangan…’ lainnya. Ini membuat ibu Endang hanya duduk diam tak tahu harus berbuat apa. Ia merasa hidupnya tak berguna. Suatu kali ia misa di gereja St. Paskalis di Jakarta Pusat. Kebetulan yang bertugas bernyanyi adalah kelompok Paduan Suara Laetitia. Ia dibisiki anaknya, bahwa yang bernyanyi dan bermain music ialah para tunanetra. Begitupun yang membaca firman dan bernyanyi Mazmur. Semuanya dilakukan dengan baik oleh mereka yang serupa dengannya, dengan membaca tulisan yang beraksara Braille. Ibu Endang membatin, jika saja ia bisa baca-tulis Braille, tentu ia bisa bernyanyi dan membaca firman di altar gereja. Tidak seperti sekarang, diam saja, serba pasif, dan tidak boleh ini itu oleh keluarga. Hidup, tapi tanpa member manfaat pada keluarga ataupun lingkungannya.
            Pada usia 51 tahun, ia memutuskan belajar Braille di Laetitia. Walau dengan susah payah, dengan tekad ‘aku harus bisa’, ia mampu membaca Braille. Dan sekarang, cita-citanya untuk bisa tampil sebagai lektris gereja terwujud sudah. Ia pun bergabung dengan Kelompok Paduan Suara Laetitia. Bersama kelompok ini, ia berkeliling gereja-gereja di KAJ, bernyanyi dan membaca firman di Altar.
            Keluarga pun bangga dengan keberadaan Ibu mereka yang aktif ini. Braille membuat hidup Ibu Endang lebih bercahaya baginya, keluarganya, dan bagi lingkungannya.
            Di zaman modern teknologi tinggi sekarang ini, selain aksara Braille, juga kemajuan teknologi komunikasi dan teknologi, mampu membawa terang bagi tunanetra. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi pun dicicipi manfaatnya oleh tunanetra. Di waktu-waktu tertentu, aku mengajarkan computer berbicara. Sesuai dengan namanya, ya.., computer ini bersuara, sesuai dengan perintah yang diberikan oleg tunanetra penggunanya. PC sama dengan  yang dipakai non-tunanetra, namun PC ini dilengkapi dengan software khusus pembaca layer. MS Word, MS Ecxel, dan pengetahuan mencari informasi di internet adalah materi pokok yang dilatihkan. Sahabat istimewaku ini, mampu setara dengan orang lain. Kemandirian mereka dalam bekerja dan bersekolah, maupun dalam berelasi sosial, semakin terlihat.
Perkembangan telefon selular, yang dilengkapi software khusus pembaca layar, makin memperkaya alat Bantu kemandirian tunanetra. Aku membantu mereka belajar menguasai gadget akses ini. Melalui kekuatan pendengaran, dan dengan pertolongan teknologi komunikasi dan informasi yang akses, tunanetra tidak lagi terisolasi dalam asramanya dan dicap ‘kuper alias kurang pergaulan’. Bukan pemandangan yang langka, jika aku bertemu dengan tunanetra di tempat umum, mereka sedang asyik dengan telefon selular mereka; entah itu sedang bertelefon, ber-sms-ria, ataupun sedang membuka-buka akun jejaring sosial mereka.

Aku Bahagia
            Tahun berganti tahun, pelayananku di biro Penyandang cacat ini makin bervariasi. Banyak pengalaman yang tidak mungkin kuceritakan satu persatu di tulisan ini. Namun semuanya membawa kekayaan batinku, maupun bagi setiap Sahabat istimewa yang terlibat di dalamnya. Aku pernah pula dipercaya memimpin biro ini di periode 2005-2007. Sungguh Tuhan memperkaya batinku dengan memberikan tantangan yang demikian unik.
            Kebahagiaanku ada pada kebahagiaan Sahabat-Sahabat yang pernah kudampingi. Aku bahagia jikalau aku berjumpa dengan mereka yang dulu kukunjungi, dan kutemui masih dengan kepala tertunduk karena merasa dirinya yang paling lemah. Namun sekarang, sudah mampu berjalan dan berbicara dengan wajah tegak dan tanpa rasa rendah diri lagi. Aku bahagia kalau mendengar kabar si X sudah mandiri bepergian, aktif dimana-mana, bahkan sudah punya pacar atau sudah menikah. Aku pun bahagia, ketika mendengar bahwa si Y yang dulu pernah kulatih Braille, atau kulatih computer/telefon selular berbicara, sekarang sudah lulus sarjana dan telah bekerja. Ah…,Tuhan itu ajaib., mampu mengubah yang muskil menjadi nyata. Mujizat itu nyata dalm hidupku  dan hidup Sahabat-Sahabat istimewaku. Tuhan mengubah kami Penyandang cacat dan menjadikan kami sebagai pembawa rahmat.

Ferry Jansen Situngkir adalah pekerja sosial di Biro Pelayanan Penyandang Cacat (sebelum 2008 biro ini bernama Biro Tunanetra Laetitia) Lembaga Daya Dharma (LDD) Keuskupan Agung Jakarta.
Tulisan ini ditulis sendiri oleh Ferry.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar