“Akan
datang waktunya, ketika mempelai pria akan diambil dari mereka, dan pada ketika
itu mereka akan berpuasa.” (Mat 9:15b)
Gereja
Katolik menetapkan aturan berpuasa berupa makan kenyang sebanyak satu kali
dalam sehari. Selain ketetapan itu, bermacam cara dapat ditambahkan orang dalam
berpuasa dan bermati raga. Ada yang memutuskan untuk tidak makan daging selama
empat puluh hari. Ada yang secara ekstrem hanya menyantap nasi putih saja
selama masa puasa; mengurangi banyak kenikmatan saat makan. Ada yang mengurangi
jumlah uang makannya, lalu menyimpan kelebihannya untuk didermakan.
Bagaimanakah situasinya ketika masa
puasa berakhir? Ada yang berusaha untuk mempertahankan kesederhanaan hidup,
karena puasa memberikan semacam inspirasi bagi sikap dan tingkah laku. Namun,
tak sedikit juga yang kembali ke gaya hidup lamanya, yang cenderung konsumtif
dan boros, serta abai pada kesulitan hidup sesama.
Puasa dan mati raga sejatinya ekspresi iman. Yang hendak
diungkapkan ialah keprihatinan serta solidaritas atau bela rasa pada sesama. Puasa
dan mati raga bukanlah sekedar aturan agama, sebab adakah di antara kita yang
sungguh-sungguh dapat makan enak sementara orang lain masih kelaparan? Dapatkah
kita betul-betul merasa nyaman selagi masih ada orang yang menderita?
Sebagai bahan renungan, marilah kita refleksi diri. Bagaimanakah aku
melakukan puasaku? Apakah aku menjalankan puasa sebatas sebagai aturan agama
saja? Apakah puasa menyadarkan aku dan menjernihkan pengertianku tentang
solidaritas pada sesama?
Maka, untuk itu marilah berdoa.
Puji syukur bagi-Mu, Allah Yang Maha Pengasih. Engkaulah arah dan
tujuan hidup kami. Dalam bimbingan rahmat-Mu, semoga kami makin mampu
menampilkan diri sebagai pribadi-pribadi yang penuh kasih, agar kami dapat
berbelarasa dengan sesama kami, dan bersama dengan mereka, mewujudkan kehidupan
yang lebih baik. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar