12 Maret 2015

PUASA SEBAGAI EKSPRESI IMAN

“Akan datang waktunya, ketika mempelai pria akan diambil dari mereka, dan pada ketika itu mereka akan berpuasa.” (Mat 9:15b)


Gereja Katolik menetapkan aturan berpuasa berupa makan kenyang sebanyak satu kali dalam sehari. Selain ketetapan itu, bermacam cara dapat ditambahkan orang dalam berpuasa dan bermati raga. Ada yang memutuskan untuk tidak makan daging selama empat puluh hari. Ada yang secara ekstrem hanya menyantap nasi putih saja selama masa puasa; mengurangi banyak kenikmatan saat makan. Ada yang mengurangi jumlah uang makannya, lalu menyimpan kelebihannya untuk didermakan.
          Bagaimanakah situasinya ketika masa puasa berakhir? Ada yang berusaha untuk mempertahankan kesederhanaan hidup, karena puasa memberikan semacam inspirasi bagi sikap dan tingkah laku. Namun, tak sedikit juga yang kembali ke gaya hidup lamanya, yang cenderung konsumtif dan boros, serta abai pada kesulitan hidup sesama.
Puasa dan mati raga sejatinya ekspresi iman. Yang hendak diungkapkan ialah keprihatinan serta solidaritas atau bela rasa pada sesama. Puasa dan mati raga bukanlah sekedar aturan agama, sebab adakah di antara kita yang sungguh-sungguh dapat makan enak sementara orang lain masih kelaparan? Dapatkah kita betul-betul merasa nyaman selagi masih ada orang yang menderita?
Sebagai bahan renungan, marilah kita refleksi diri. Bagaimanakah aku melakukan puasaku? Apakah aku menjalankan puasa sebatas sebagai aturan agama saja? Apakah puasa menyadarkan aku dan menjernihkan pengertianku tentang solidaritas pada sesama?
Maka, untuk itu marilah berdoa.
Puji syukur bagi-Mu, Allah Yang Maha Pengasih. Engkaulah arah dan tujuan hidup kami. Dalam bimbingan rahmat-Mu, semoga kami makin mampu menampilkan diri sebagai pribadi-pribadi yang penuh kasih, agar kami dapat berbelarasa dengan sesama kami, dan bersama dengan mereka, mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Amin. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar