|
Ferry Jansen Situngkir |
Tak terbayang sebelumnya olehku akan bekerja
dalam pelayanan sosial terhadap mereka yang sering disebut masyarakat sebagai
penyandang cacat. Selama 20 tahun pertama dalam hidupku, aku merasa tidak ada
suatu keanehan dalam diriku. Memang, sejak duduk di kelas satu sekolah dasar,
aku diharuskan memakai kaca mata tebal. Itu bermula ketika aku berusia delapan
tahun. Kecelakaan kecil yang melukai mata kananku, di kemudian hari ternyata membawa
kegelapan total dalam penglihatanku. Infeksi kecil membutakan mata kananku
ketika aku duduk di bangku sekolah menengah pertama (kelas III, 1987). Dan,
yang kiri pun, perlahan namun pasti, berkurang ketajamannya. Aku masih ingat,
saat lulus Sekolah Menengah Atas (SMAN 28 Jakarta, 1991), aku harus dibantu
dengan kacamata minus sembilan.
Selama
menjalani pendidikan dasar dan menengah, aku tidak merasa ada hambatan dalam
berprestasi di sekolah. Nilai-nilai pelajaranku, baik-baik saja. Namun, memang
aku menyadari bahwa aku lemah dalam pelajaran-pelajaran yang membutuhkan penglihatan
yang tajam dan kelincahan gerak. Pada pelajaran olahraga dan seni rupa, aku
berada pada garis rata-rata, dan terkadang di bawahnya. Tetapi tidak dengan
pelajaran lain. Tahun 1991, aku berhasil menamatkan pendidikan di SMA dengan
hasil yang memuaskan. Dan karenanya, aku memutuskan melanjutkan pendidikan ke
perguruan tinggi negeri. Ada dua yang menjadi targetku saat itu. Pertama
Sekolah Tinggi Akuntansi Negara di Jurangmangu, Bintaro, Tanggerang Selatan.
Yang kedua melalui jalur UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri).
Kedua-duanya wajib aku perjuangkan, kalau aku ingin tetap melanjutkan
pendidikan, karena ada aturan di keluargaku, jika tidak bisa kuliah di
perguruan tinggi negeri, maka aku dan saudara-saudaraku tidak tidak akan bisa
kuliah, karena kemampuan ekonomi keluargaku
yang minim. Ayahku seorang PNS yang jujur, yang mengandalkan gajinya
saja untuk menghidupi kami semua.
Puji
Tuhan, karena dengan seijin-Nya, dan motivasi yang kuat untuk mencapai
cita-cita setinggi mungkin, untuk mengubah nasib, aku berhasil lulus STAN
Jurangmangu, Bintaro. Seminggu menjalani Orientasi dan Pengenalan Kampus.
Seminggu di sana, aku mendapat kabar aku pun di terima di Teknik Industri,
Institut Teknologi Bandung (ITB). Menghadapi dua pilihan yang sama baiknya ini,
aku memutuskan untuk pergi belajar ke Bandung, karena pada dasarnya aku senang
dengan matematika dan ilmu alam.
Tahun
demi tahun aku jalani perkuliahan di kampus Ganesha dengan lancer. Kesulitan
dalam penglihatan aku siasati dalam kerja berkelompok. Jika praktikum, aku
menghadapi mesin-mesin yang cukup berbahaya, aku mengambil posisi sebagai
pencatat data dan pembuat laporan. Sementara teman-temanku dalam satu kelompok
‘pegang’ mesin. Di ruang kuliah, aku tak dapat dengan jelas membaca tulisan
dosen di papan tulis maupun di layar overhead projector. Kesulitan ini aku
atasi dengan meminjam catatan teman-teman untuk kusalin. Belajar pun, aku
merasa tak mengalami kesulitan, karena dengan kacamata tebalku (minus sembilan,
ketika itu) aku masih bisa membaca buku-buku.
Namun
itu semua berakhir ketika ketika Dokter mata di RS Cicendo Bandung memvonis,
mata kiriku tak bisa diselamatkan, kecuali dioperasi di Jakarta, karena
keterbatasan peralatan di Bandung. Aku ke Jakarta untuk menjalani operasi mata
tunggalku yang tersisa (1994). Namun, Tuhan menggariskan aku untuk harus
menjadi tunanetra. Syaraf retina di mata kiriku kembali lepas setelah dismbung
pada operasi pertama. Dokter menyarankan untuk menjalani dua kali lagi operasi,
tapi kutolak dengan pertimbangan biaya yang terlalu besar.
Setahun
aku cuti kuliah sambil menanti mujizat dari Tuhan. Namun, itu tak kunjung
datang. Aku marah padaNya.
Tugas akhir sarjanaku, yang hamper selesia,
tertunda. Aku putus asa dan tak punya semangat untuk menyelesaikannya. Aku
hanya sedih dan marah. Orangtuaku mencoba untuk mengerti dan menyelami apa yang
kurasakan, dan terus memotivasi aku. Mereka meminta aku tetap menyelesaikan
kuliahku. Dan dengan motivasi dari merekalah aku berhasil menamatkan dan meraih
gelar sarjana Teknik Industri ITB di
tahun 1997.
Bingung dan sedih
Setamat kuliah, aku tidak seperti rekan-rekanku.
Mereka umumnya meniti karir setamat berkuliah. Sementara aku hanya diam di
rumah, menangisi keadaan dan marah-marah kepada Tuhan. Bukannya tidak ada tawaran
bekerja, tetapi aku menolak kesempatan itu. Aku masih ingat, ada tiga
perusahaan besar yang menghubungiku untuk wawancara pegawai baru. Semua
kuhindari dengan berbohong. Kukatakan aku sudah diterima bekerja di tempat
lain. Aku sedih sekali.
Suasana
muram ini kulalui hampir selama dua tahun. Kerjaku hanya mendengarkan radio dan
televise dan makan. Tubuhku makin tambun . Aku bingung dengan masa depanku. Aku
marah: “Mengapa Tuhan memberiku cobaan seberat ini?”. Ku coba mendengarkan
acara-acara rohani di radio dan televise. Semuanya tak memberiku jawaban atas
pertanyaan akan seperti apa masa depanku kelak. Situasi ini membuatku sering
menangis sendiri di dalam kamar, padahal walkman-ku
sedang mendendangkan lagu-lagu yang riang dan indah. Aku galau, “Kapan semuanya
menjadi terang benderang ya?”, tanyaku dalam hati.
|
Kelompok Paduan Suara Leatitia |
|
Tuhan menjawabku
Syukur pada Tuhan, sedih dan frustasiku tidak
berlarut-larut. Aku berjumpa Bito Tunanetra Leatitia pada 2009. Seorang kawan
kuliah member informasi tentang Biro Tunanetra Leatitia di Gereja Katedral
Jakarta. Aku menyambutnya, dan mendaftarkan diri di biro ini pada Maret 2009.
Dengan kesadaran penuh, aku bertekad harus menegakkan kepalaku dan berusaha
untuk hidup mandiri. Harus menjadi manusia baru. Aku mulai belajar Braille, dan belajar berjalan dengan
tongkat putih.
Aku
pun mulai aktif di kelompok-kelompok yang dibina oleh biro milik Lembaga Daya
Dharma (LDD) Keuskupan Agung Jakarta ini. Aku aktif bergiat di dalam kelompok
Paduan Suara Leatitia, kelompok Teater Buta, kelompok tunanetra pemijat, dan
terlibat dalam kunjungan-kunjungan rumah tunanetra. Semua berjalan indah. Tuhan
memakai sahabat-sahabatku yang dianggap lemah oleh masyarakat, untuk
mengembangkan diriku sebagai “manusia baru”. Aku bukan lagi manusia tak
berguna, manusia yang tanpa harapan dan hanya menjadi beban keluarga. Tapi,
lebih memandang diriku sebagai manusia yang diberi banyak kelebihan. Kesadaran
ini sungguh merupakan kekayaan batin bagiku, dan aku harus membagikannya kepada
siapapun yang kujumpai. Itu tekadku.
Diterima Bekerja dan Mulai
Melayani
Tak terduga olehku, belum lagi setahun aktif Biro
Tunanetra Leatitia LDD KAJ, aku ditawari ikut dalam seksi penerimaan karyawan
bari di biro ini. Aku ingat betul, itu terjadi di bulan Oktober 1999. Aku
memutuskan untuk mengambil tawaran ini. Kupikir, inilah kesempatanku untuk
berkarya dan menjadi berarti dengan memberikan apa yang kupunya kepada
sesamaku. Dan akupun lulus ujian seleksi. Ku yakin, Tuhan sendirilah yang
memilihku untuk berkarya bagi-Nya. Sejak Januari 2010, aku mulai bekerja di
Biro Leatitia, dan menjalani gemblengan sebagai pekerja sosial kecacatan. Aku
mengikuti kursus bimbingan konseling, kursus computer bicara, pelatihan kepribadian Outward Bound
Indonesia, pelatihan analisis sosial, dan berbagai ragam kursus. Semua ini
membentuk diriku agar siap melakukan semua tanggung jawab yang diberikan
kepadaku kelak.
Tugas
awalku adalah mengunjungi tunanetra di Jakarta dan sekitarnya. Ya, mereka
tinggal di rumah mereka masing-masing, atau bekerja di panti-panti pijat. Dalam
berkunjung, terkadang aku ditemani staf ataupun Pembakti/Sukarelawan. Namun,
tidak jarang aku harus pergi sendirian dan ditemani oleh tongkat putihku, naik
turun angkotan kota. Tanya kiri kanan pada orang di jalan alamat yang kutuju.
Bukan sesuatu yang mudah untuk tunanetra
baru seperti aku. Sering aku merasa takut, baik bertabrak kendaraan,
ataupun gagal menemui alamat yang kutuju, atau bahkan takut ditolak oleh
keluarga dari Penyandang cacat. Namun, itu tidak terjadi. Terasa sekali olehku,
Tuhan menjadi temanku dan Ia menjagaiku dalam setiap langkah tugasku. Selama 13
tahun bertugas, aku belum pernah sekalipun dilanggar kendaraan. Sesekali nyasar, namun dari rekan-rekan aku tahu
bagaimana caranya bisa sampai ketujuan dengan tepat dan cepat.
Setiap
perjumpaanku dengan Sahabat tunanetra merupakan peristiwa yang indah dan selalu
kutunggu-tunggu; tidak kuhitung sebagai beban pekerjaan. Kami bisa saling
bertukar cerita; cerita suka duka dengan asiknya. Saling memberi pengalaman
hidup. Saling membangun semangat hidup, dan bersama membuka peluang apa yang
bisa dilakukan bersama. Kunjungan dan sapaan yang kulakukan, mencoba membuka
pintu untuk menarik mereka yant tunanetra dari kepasifan hidup. Kunjungan dan
sapaan menggerakkan mereka keluar rumah, datang ke Leatitia untuk mulai
terlibat dalam pelatihan dan kegiatan-kegiatan yang ada. Kebersamaan dalam
kelompok sejenis, membuat Sahabat-Sahabatku lebih mudah membuka diri satu sama
lain, dan ini memampukan mereka bisa membuang beban yang sebelumnya terasa
sangat berat. Dalam kebersamaan, Sahabat-sahabat mampu bertumbuh dan
menunjukkan eksistensinya.
Baik
dalam kegiatan yang ada di Biro Leatitia, maupun di lembaga lain ke mana mereka
kurujuk, mereka mencoba membangun diri dan mencoba eksis di tengah keluarga dan
masyarakat. Sungguh Tuhan menjadikan segala sesuatunya BAIK adanya. Di balik
kesedihan dan kelemahan, tersimpan sukacita dan kemuliaanNya.
Hasil
kunjunganku tidak melulu tunanetra atau Penyandang cacat yang bisa
diberdayakan. Banyak pula dari antara mereka adalah mereka yang sama sekali
tidak berdaya. Tunanetra berusia lanjut
yang sudah tidak kuat mencari nafkah dengan memijatnya, Penyandang cacat
ganda (yang hanya mampu rawat), ataupun Penyandang cacat tubuh/lumpuh anggota
gerak badannya, dengan keluarga tidak mampu, dan bingung mau ‘diapakan’ anaknya
tersebut. Aku mencoba membantu mereka, mencari umat yang peduli. Entah itu
untuk mencarikan panti jompo yang sesuai, mengantar ke panti-panti yang
menampung mereka yang cacat ganda, membantu kebutuhan pokok, ataupun membantu
alat bantu seperi kursi roda dan lain-lain. Semuanya aku upayakan untuk
mengetuk hati umat, supaya mereka dengan spontan meniru Tuhan Yesus yang selalu
mengulurkan bantuankarena tergerak oleh belas kasih terhadap sesamanya.
Mangajarkan
baca-tulis Braille dan computer bicara adalah tanggung jawab yang dipercayakan
biro kepadaku. Mata boleh tidak melihat, namun tunanetra tidaklah boleh buta
pengetahuan ataupun buta terhadap perkembangan di sekitarnya. Dengan menguasai
baca/tulis Braille, tunanetra bisa bersekolah dan bisa membaca buku-buku
pelajarannya. Dengan aksara Braille, tunanetra bisa mencatat
pelajaran/pelatihan yang diikutinya. Aksara Braille memampukan mereka mencatat
nomor telefon dan alamat serta berkorespondensi dengan sahabat-sahabatnya.
Aksara Braille membawa cahaya di tengah kegelapan Sahabat-Sahabatku ini.
Sebut
saja ibu Endang. Ibu ini mengalami kebutaan ketika ia melahirkan anak
bungsunya. Saat itu ia berusia empat puluh tahunan. Ia shock dan marah, serta
protes kepada Tuhan, mengapa ia mendapat cobaab yang tak terduga? Ia tidak bisa
lagi melakukan apa pun, sebagaimana sebelumnya. Di tengah kekecewaannya, tak
jarang ia berpikir untuk mengakhiri hidupnya saja. Namun, niat buruk itu urung
terlaksana, karena ia mendengar tangisan anak-anaknya. Keluarga pun bingung
dengan kondisi ibu mereka. Larangan kepada si Ibu kerap dilontarkan: jangan
kedapur, jangan pegang pisau, jangan main api, jangan keluar rumah nanti
tertabrak motor atau mobil, dan berbagai ‘jangan…jangan…’ lainnya. Ini membuat
ibu Endang hanya duduk diam tak tahu harus berbuat apa. Ia merasa hidupnya tak
berguna. Suatu kali ia misa di gereja St. Paskalis di Jakarta Pusat. Kebetulan
yang bertugas bernyanyi adalah kelompok Paduan Suara Laetitia. Ia dibisiki
anaknya, bahwa yang bernyanyi dan bermain music ialah para tunanetra. Begitupun
yang membaca firman dan bernyanyi Mazmur. Semuanya dilakukan dengan baik oleh
mereka yang serupa dengannya, dengan membaca tulisan yang beraksara Braille.
Ibu Endang membatin, jika saja ia bisa baca-tulis Braille, tentu ia bisa
bernyanyi dan membaca firman di altar gereja. Tidak seperti sekarang, diam
saja, serba pasif, dan tidak boleh ini itu oleh keluarga. Hidup, tapi tanpa
member manfaat pada keluarga ataupun lingkungannya.
Pada
usia 51 tahun, ia memutuskan belajar Braille di Laetitia. Walau dengan susah
payah, dengan tekad ‘aku harus bisa’, ia mampu membaca Braille. Dan sekarang,
cita-citanya untuk bisa tampil sebagai lektris gereja terwujud sudah. Ia pun
bergabung dengan Kelompok Paduan Suara Laetitia. Bersama kelompok ini, ia
berkeliling gereja-gereja di KAJ, bernyanyi dan membaca firman di Altar.
Keluarga
pun bangga dengan keberadaan Ibu mereka yang aktif ini. Braille membuat hidup
Ibu Endang lebih bercahaya baginya, keluarganya, dan bagi lingkungannya.
Di
zaman modern teknologi tinggi sekarang ini, selain aksara Braille, juga
kemajuan teknologi komunikasi dan teknologi, mampu membawa terang bagi
tunanetra. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi pun dicicipi manfaatnya
oleh tunanetra. Di waktu-waktu tertentu, aku mengajarkan computer berbicara.
Sesuai dengan namanya, ya.., computer ini bersuara, sesuai dengan perintah yang
diberikan oleg tunanetra penggunanya. PC sama dengan yang dipakai non-tunanetra, namun PC ini
dilengkapi dengan software khusus
pembaca layer. MS Word, MS Ecxel, dan pengetahuan mencari informasi di internet
adalah materi pokok yang dilatihkan. Sahabat istimewaku ini, mampu setara
dengan orang lain. Kemandirian mereka dalam bekerja dan bersekolah, maupun
dalam berelasi sosial, semakin terlihat.
Perkembangan telefon selular, yang dilengkapi
software khusus pembaca layar, makin memperkaya alat Bantu kemandirian
tunanetra. Aku membantu mereka belajar menguasai gadget akses ini. Melalui kekuatan pendengaran, dan dengan
pertolongan teknologi komunikasi dan informasi yang akses, tunanetra tidak lagi
terisolasi dalam asramanya dan dicap ‘kuper
alias kurang pergaulan’. Bukan pemandangan yang langka, jika aku bertemu dengan
tunanetra di tempat umum, mereka sedang asyik dengan telefon selular mereka;
entah itu sedang bertelefon, ber-sms-ria, ataupun sedang membuka-buka akun
jejaring sosial mereka.
Aku Bahagia
Tahun
berganti tahun, pelayananku di biro Penyandang cacat ini makin bervariasi. Banyak
pengalaman yang tidak mungkin kuceritakan satu persatu di tulisan ini. Namun
semuanya membawa kekayaan batinku, maupun bagi setiap Sahabat istimewa yang
terlibat di dalamnya. Aku pernah pula dipercaya memimpin biro ini di periode
2005-2007. Sungguh Tuhan memperkaya batinku dengan memberikan tantangan yang
demikian unik.
Kebahagiaanku
ada pada kebahagiaan Sahabat-Sahabat yang pernah kudampingi. Aku bahagia
jikalau aku berjumpa dengan mereka yang dulu kukunjungi, dan kutemui masih
dengan kepala tertunduk karena merasa dirinya yang paling lemah. Namun
sekarang, sudah mampu berjalan dan berbicara dengan wajah tegak dan tanpa rasa
rendah diri lagi. Aku bahagia kalau mendengar kabar si X sudah mandiri
bepergian, aktif dimana-mana, bahkan sudah punya pacar atau sudah menikah. Aku
pun bahagia, ketika mendengar bahwa si Y yang dulu pernah kulatih Braille, atau
kulatih computer/telefon selular berbicara, sekarang sudah lulus sarjana dan
telah bekerja. Ah…,Tuhan itu ajaib., mampu mengubah yang muskil menjadi nyata.
Mujizat itu nyata dalm hidupku dan hidup
Sahabat-Sahabat istimewaku. Tuhan mengubah kami Penyandang cacat dan menjadikan
kami sebagai pembawa rahmat.
Ferry
Jansen Situngkir adalah pekerja sosial di Biro Pelayanan
Penyandang Cacat (sebelum 2008 biro ini bernama Biro Tunanetra Laetitia)
Lembaga Daya Dharma (LDD) Keuskupan Agung Jakarta.
Tulisan ini ditulis sendiri oleh Ferry.